Jumat, 21 Juli 2017

Ibadah Mahdhah & Ghairu Mahdhah

Ibadah. Secara etomologis kata ibadah diambil dari kata ‘abada, ya’budu, ‘abdan, fahuwa ‘aabidun yang berarti hamba atau budak. Jadi ibadah berarti penghambaan, yakni aktivitas penghambaan untuk memperoleh keridhaan dari Allah SWT. 

Ibadah mahdhah (dalam arti sempit) yaitu ibadah yang murni (mahdhahsebagai ibadah, yaitu aktivitas yang sudah ditentukan syarat dan rukunnya. Maksud dari syarat adalah hal-hal yang perlu dipenuhi sebelum suatu kegiatan ibadah itu dilakukan. Sedangkan maksud dari rukun adalah hal-hal, cara, tahapan atau urutan yang harus dilakukan dalam melaksanakan ibadah itu. Contoh ibadah mahdhah adalah shalat, puasa dan haji.
Sedangkan ibadah ghairu mahdhah yaitu ibadah yang tidak murni sebagai ibadah, yaitu segala aktivitas yang di samping sebagai hubungan  hamba dengan Allah juga merupakan hubungan atau interaksi antara hamba dengan makhluk lainnya. Niat ibadah ghairu mahdhah bisa karena mencari ridha Allah, atau bisa juga niatnya adalah untuk sosial misalnya bekerja mencari nafkah niatnya untuk menghidupi keluarga.

A. Pengertian Ibadah 
Secara etomologis ibadah diambil dari kata ‘abada, ya’budu, ‘abdan, fahuwa ‘aabidun. ‘Abid,berarti hamba atau budak, yakni seseorang yang tidak memiliki apa-apa, hatta dirinya sendiri milik tuannya, sehingga karenanya seluruh aktifitas hidup hamba hanya untuk memperoleh keridhaan tuannya dan menghindarkan murkanya. 
Manusia adalah hamba Allah “‘Ibaadullaah” jiwa raga haya milik Allah, hidup matinya di tangan Allah, rizki miskin kayanya ketentuan Allah, dan diciptakan hanya untuk  ibadah atau menghamba kepada-Nya: “Tidak Aku ciptakan Jin dan Manusia kecuali hanya untuk beribadah kepadaKu” (QS. 51(al-Dzariyat ): 56).

B. Jenis ‘Ibadah 
Ditinjau dari jenisnya, ibadah dalam Islam terbagi menjadi dua jenis, dengan bentuk dan sifat yang berbeda antara satu dengan lainnya;
1. ‘Ibadah Mahdhah,  artinya  penghambaan yang murni hanya merupakan hubung an antara hamba dengan Allah secara langsung. ‘Ibadah bentuk ini  memiliki 4 prinsip:
a. Keberadaannya harus berdasarkan adanya dalil perintah,baik dari al-Quran maupun al- Sunnah, jadi merupakan otoritas wahyu, tidak boleh ditetapkan oleh akal atau logika keberadaannya.
b. Tatacaranya harus berpola kepada contoh Rasul saw. Salah satu tujuan diutus rasul oleh Allah adalah untuk memberi contoh:
“Dan Kami tidak mengutus seorang Rasul kecuali untuk ditaati dengan izin Allah…”(QS. 4: 64).
“Dan apa saja yang dibawakan Rasul kepada kamu maka ambillah, dan apa yang dilarang, maka tinggalkanlah…”( QS. 59: 7).
Shalat dan haji adalah ibadah mahdhah, maka tatacaranya, Nabi bersabda: “Shalatlah kamu seperti kamu melihat aku shalat. Ambillah dari padaku tatacara haji kamu”
Jika melakukan ibadah bentuk ini tanpa dalil perintah atau tidak sesuai dengan praktek Rasul saw., maka dikategorikan “Muhdatsatul umur” perkara meng-ada-ada, yang populer disebut bid’ah:  Sabda Nabi saw.: “Salah satu penyebab hancurnya agama-agama yang dibawa sebelum Muhammad saw. adalah karena kebanyakan kaumnya bertanya dan menyalahi perintah Rasul-rasul mereka
c. Bersifat supra rasional (di atas jangkauan akal) artinya ibadah bentuk ini bukan ukuran logika, karena bukan wilayah akal, melainkan wilayah wahyu, akal hanya berfungsi memahami rahasia di baliknya yang disebut hikmah tasyri’. Shalat, adzan, tilawatul Quran, dan ibadah mahdhah lainnya, keabsahannnya bukan ditentukan oleh mengerti atau tidak, melainkan ditentukan apakah sesuai dengan ketentuan syari’at, atau tidak. Atas dasar ini, maka ditetapkan oleh syarat dan rukun yang ketat.
d. Azasnya “taat”, yang dituntut dari hamba dalam melaksanakan ibadah ini adalah kepatuhan atau ketaatan. Hamba wajib meyakini bahwa apa yang diperintahkan Allah kepadanya, semata-mata untuk kepentingan dan kebahagiaan hamba, bukan untuk Allah, dan salah satu misi utama diutus Rasul adalah untuk dipatuhi
Jenis ibadah yang termasuk mahdhah, adalah :
1. Wudhu,
2. Tayammum
3. Mandi hadats
4. Adzan
5. Iqamat
6. Shalat
7. Membaca al-Quran
8. I’tikaf
9. Shiyam ( Puasa )
10. Haji
11. Umrah
12. Tajhiz al- Janazah
Rumusan Ibadah Mahdhah adalah : “KA + SS” (Karena Allah + Sesuai Syari’at)

2. Ibadah Ghairu Mahdhah, (tidak murni semata hubungan dengan Allah)  yaitu ibadah yang di samping sebagai hubungan  hamba dengan Allah juga merupakan hubungan atau interaksi antara hamba dengan makhluk lainnya . 
Prinsip-prinsip dalam ibadah ini, ada 4:
a. Keberadaannya didasarkan atas tidak adanya dalil yang melarang. Selama Allah dan Rasul-Nya tidak melarang maka ibadah bentuk ini boleh diseleng garakan.
b. Tatalaksananya tidak perlu berpola kepada contoh Rasul, karenanya dalam ibadah bentuk ini tidak dikenal istilah “bid’ah” , atau jika ada yang menyebut nya, segala hal yang tidak dikerjakan rasul bid’ah, maka bid’ahnya disebut bid’ah hasanah, sedangkan dalam ibadah mahdhah disebut bid’ah dhalalah.
c. Bersifat rasional,  ibadah bentuk ini baik-buruknya, atau untung-ruginya, manfaat atau madharatnya, dapat ditentukan oleh akal atau logika.  Sehingga jika menurut logika sehat, buruk, merugikan, dan madharat, maka tidak boleh dilaksanakan.
d. Azasnya “Manfaat”, selama itu bermanfaat, maka selama itu boleh dilakukan.
Rumusan Ibadah Ghairu Mahdhah: “BB + KA” (Berbuat Baik +  Karena Allah)

3. Hikmah Ibadah Mahdhah
Pokok dari semua ajaran Islam adalah “Tawhiedul ilaah” (KeEsaan Allah), dan ibadah mahdhah itu salah satu sasarannya adalah untuk mengekpresikan ke Esaan Allah itu, sehingga dalam pelaksanaannya diwujudkan dengan:
a. Tawhiedul wijhah (menyatukan arah pandang). Shalat semuanya harus menghadap ke arah ka’bah, itu bukan menyembah Ka’bah, dia adalah batu tidak memberi manfaat dan tidak pula memberi madharat, tetapi syarat sah shalat menghadap ke sana  untuk menyatukan arah pandang, sebagai perwujudan Allah yang diibadati itu Esa. Di mana pun orang shalat ke arah sanalah kiblatnya  (QS. 2: 144).
b. Tawhiedul harakah (Kesatuan gerak). Semua orang yang shalat gerakan pokoknya sama, terdiri dari berdiri, membungkuk (ruku’), sujud dan duduk. Demikian halnya ketika thawaf dan sa’i, arah putaran dan gerakannya sama, sebagai perwujudan Allah yang diibadati hanya satu.
c. Tawhiedul lughah (Kesatuan ungkapan atau bahasa). Karena Allah yang disembah (diibadati) itu satu maka bahasa yang dipakai mengungkapkan ibadah kepadanya hanya satu yakni bacaan shalat, tak peduli bahasa ibunya apa, apakah dia mengerti atau tidak, harus satu bahasa, demikian juga membaca al-Quran, dari sejak turunnya hingga kini al-Quran adalah bahasa al-Quran yang membaca terjemahannya bukan membaca al-Quran.

* Umay M. Dja’far Shiddieq

Tidak ada komentar:

Posting Komentar