Senin, 16 Januari 2017

Empat Sifat Mulia Rasulullah SAW

Nabi Muhammad SAW memiliki akhlak dan sifat-sifat yang sangat mulia. Sebelum diangkat menjadi Nabi dan Rasul semua penduduk Makkah memberinya gelar atau julukan  Al-Amin (yang dipercaya).   Gelar tersebut diberikan kepada Rasulullah karena beliau memiliki 5 sifat mulia, yaitu:Sidik (Jujur), Amanah (dapat dipercaya), Al-hilmu (Penyantun), Al-hayak (Pemalu), dan Tawaduk (Rendah Hati).

Ketika Muhammad hendak memulai dakwah secara terbuka dan terang-terangan, beliau berdiri di atas bukit kemudian menyampaikan kepada kaum Quraisy yang berkumpul, “Wahai saudara-saudaraku kaum Quraisy,  jika aku memberi kabar kepadamu, bahwa di balik bukit ini ada musuh yang sudah siaga hendak menyerang kalian, apakah kalian semua percaya?” Tanpa ragu semuanya menjawab mantap, “Percaya!”

Kemudian, Muhammad kembali bertanya, “Mengapa kalian langsung percaya tanpa membuktikannya terlebih dahulu?” Tanpa ragu-ragu orang yang hadir di sana kembali menjawab mantap, “Engkau sekalipun tidak pernah berbohong, wahai al-Amin. Engkau adalah manusia yang paling jujur yang kami kenal.”             

Setelah menjadi Nabi dan pemimpin bagi umat Islam, beliau dikenal mempunyai sifat-sifat mulia, yaitu: Siddiq (jujur), Amanah (dipercaya),  Fathonah (cerdas), dan Tabligh (menyampaikan).

a. Sidiq (Jujur)

Jujur adalah sikap kesesuaian antara perkataan, pikiran, dan tindakan dengan kenyataan yang sebenarnya.  Contoh sikap jujur adalah berterus terang, tidak menutupi, tidak dusta, tidak memanipulasi, dan tidak curang. 

b. Amanah (terpercaya)

Amanah mempunyai pengertian mampu menjaga segala sesuatu yang dipercayakan secara konsekuen dan penuh rasa tanggung jawab. Pengertian amanah yang lebih luas adalah integritas, yaitu memegang teguh nilai-nilai moral etika yang baik. Integritas meliputi sifat adil, tanggung jawab, berani dan konsekuen.

c. Fathonah (cerdas)

Fathonah mempunyai pengertian mempunyai tingkat kecerdasan yang tinggi, memiliki pengetahuan yang luas, serta kreatif dan inovatif.

e. Tabligh (transparan & akuntable)

Tabligh mempunyai pengertian terbuka/transparan dan kesediaan untuk mempertanggung jawabkan atas tugas yang dilakukannya.



****

Penjelasan lebih lengkap sbb:


1.    SIDDIQ (jujur)

Sidiq berasal dari bahasa Arab yang artinya jujur.  Sidiq mempunyai pengertian sebuah sikap dalam menjalankan segala tugas secara jujur, dengan asas keterbukaan (akuntabilitas) tanpa manipulasi dan kecurangan.  Seorang pemimpin harus sidiq yakni ada kesesuaian antara  niat, janji dan ucapan dengan perbuatan (tidak riya’ atau pamer, dan punya integritas). Lawan kata dari sikap ini adalah dusta (al-kadzibu) dan fasik.

Secara Istilah, pengertian “jujur” itu meliputi: a) Kesesuaian antara informasi dan kenyataan (tidak berdusta);  b) Kesesuaian antara perbuatan dan kematangan hati (tidak riya’);  c) Kesesuaian antara niat dan perbuatan (tidak ingkar); dan d) Kesesuaian antara ucapan dan perbuatan (integritas).

a. Kesesuaian antara informasi dan kenyataan (tidak berdusta).  Orang yang jujur itu akan selalu menyampaikan berita sesuai dengan kenyataan (fakta), tidak berdusta.  Setiap orang harus bisa memelihara perkataannya. Tiap kata yang meluncur dari bibir dan lisan seseorang wajib memuat dan mengandung kebenaran. Bukan gunjingan, gossip, dan fitnah. Barangsiapa yang menjaga lidahnya dengan selalu menyampaikan berita yang sesuai dengan fakta yang sebenarnya, ia termasuk jujur jenis ini. Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendakah ia berkata yang baik atau diam.” (HR. Bukhari-Muslim)

b. Kesesuaian antara perbuatan dan kematangan hati (tidak riya’).  Orang yang jujur itu akan selalu beramal secara sungguh-sungguh secara ikhlas sesuai sesuai suara hati yang  berlandaskan keridhaan Allah Swt, dilakukan apa adanya dan tidak mengada - ngada.   Apa yang ia yakini sebagai kejujuran dan kebenaran, ia jalan dengan keyakinan kuat bahwa Allah bersama orang-orang yang benar-benar benar.

c.  Kesesuaian antara niat dan perbuatan (tidak ingkar).  Orang yang jujur itu akan selalu menepati  apabila ia berjanji.  Janji adalah hutang, demikian kalimat yang sering terngiang. Karena hutang, maka wajib untuk dibayar sesuai dengan nilainya. Menepati janji bukan sembarang sikap. Menepati janji berarti mempertaruhkan harkat dan martabat dirinya di hadapan orang lain demi memberi keyakinkan pada orang tersebut bahwa ia sanggup untuk membayarnya. Dengan sikap jujur, janji akan tertunai dan amanah akan dijalankan.

d.  Kesesuaian antara ucapan dan perbuatan (komitmen).  Orang yang jujur itu senantiasa menjaga perkataan dan perbuatannya yang menjunjung tinggi  nilai-nilai keluhuran (berintegritas). Integritas adalah konsistensi dalam tindakan-tindakan yang menjunjung tinggi nilai-nilai luhur dan keyakinan.  Lawan dari integritas adalah hipokrit atau munafik.  Nilai-nilai luhur tidak dibenarkan jika hanya diucapkan, tetapi juga harus dilaksanakan dalam perbuatan.  Kebanyakan orang pandai berkata baik tetapi perbuatannya tidak sesuai dengan perkataannya.  Sangat berdosa besar bagi orang-orang yang tidak mampu menyesuaikan perkataannya dengan perbuatan, atau berbeda apa yang di lidah dan apa yang diperbuat.  Allah Swt. berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman! Mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? (Itu) sangatlah dibenci di sisi Allah jika kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (Q.S. Ash-Qaff/61:2-3)


Jujur adalah kesesuaian antara ucapan, sikap, tindakan dan juga niat dengan keadaan yang sebenarnya.  Jujur itu adalah prilaku yang berterus terang, tidak menutupi, tidak dusta, tidak ingkar, tidak curang dan tidak riya’.

2.    AMANAH
Amanah berasal dari bahasa Arab yang artinya dapat dipercaya, benar dan adil.   Amanah mempunyai pengertian kemampuan untuk menjaga segala sesuatu yang dipercayakan dengan benar dan adil.  Jika satu urusan diserahkan kepadanya, niscaya orang percaya bahwa urusan itu akan dilaksanakan dengan serius dan sebaik-baiknya. Lawan dari amanah adalah khianat atau menyia-nyiakan kepercayaan.

Oleh kerana itulah penduduk Makkah memberi gelaran kepada Nabi Muhammad SAW dengan gelaran ‘Al-Amin’ yang bermaksud ‘terpercaya’, jauh sebelum beliau diangkat jadi seorang Rasul. Apa pun yang beliau ucapkan, dipercayai dan diyakini penduduk Makkah kerana beliau terkenal sebagai seorang yang tidak pernah berdusta.

Mustahil Rasulullah SAW itu berlaku khianat terhadap orang yang memberinya amanah. Baginda tidak pernah menggunakan kedudukannya sebagai Rasul atau sebagai pemimpin bangsa Arab untuk kepentingan peribadinya atau kepentingan keluarganya, namun yang dilakukan Baginda adalah semata-mata untuk kepentingan Islam melalui ajaran Allah SWT.

Ketika Nabi Muhammad SAW ditawarkan kerajaan, harta, wanita oleh kaum Quraisy agar beliau meninggalkan tugas ilahinya menyiarkan agama Islam, Baginda menolaknya.

3.    TABLIGH

Tabligh berasal dari bahasa Arab yang artinya menyampaikan. Segala firman Allah SWT yang ditujukan oleh manusia, disampaikan oleh Baginda. Tidak ada yang disembunyikan walaupun ianya menyinggung Baginda sendiri.

Dalam suatu riwayat dikemukakan bahawa firman Allah (QS 'Abasa: 1) turun berkenaan dengan Ibnu Ummi Maktum yang buta yang datang kepada Rasulullah SAW sambil berkata: “Berilah petunjuk kepadaku, ya Rasulullah.” Pada waktu itu Rasulullah SAW sedang menghadapi para pembesar kaum musyrikin Quraisy, sehingga Rasulullah berpaling daripadanya dan tetap melayani pembesar-pembesar Quraisy. Ummi Maktum berkata: “Apakah yang saya katakan ini mengganggu tuan?” Rasulullah menjawab: “Tidak.” Maka ayat ini turun sebagai teguran di atas perbuatan Rasulullah SAW. (Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan al-Hakim yang bersumber dari ‘Aisyah. Diriwayatkan pula oleh Ibnu Ya’la yang bersumber dari Anas.)

Sebetulnya apa yang dilakukan Rasulullah SAW itu menurut standard umum adalah hal yang wajar. Ketika sedang berbicara di depan umum atau dengan seseorang, tentu kita tidak suka diganggu oleh orang lain. Namun untuk standard Nabi, itu tidak cukup. Oleh kerana itulah Allah SWT telah menegur Baginda SAW.

Sebagai seorang yang tabligh, meski ayat itu menyindirnya, Nabi Muhammad SAW tetap menyampaikannya kepada kita. Itulah sifat seorang Nabi. Jadi, mustahil Nabi itu ‘kitman’ atau menyembunyikan wahyu.

4.    FATHONAH
Fathonah berasal dari bahasa Arab yang artinya cerdas.  Kecerdasan meliputi intelektual, emosional dan spiritual. Sebagai nabi dan pemimpin umat, Rasulullah harus   paham seluk beluk tugasnya, harus juga seimbang emosinya, sehingga  tidak cepat marah, menggerutu, sebagaimana ia  harus memiliki kecerdasan  spiritual, yang tergambar dalam hubungan baik dengan Allah.
Syarat seorang pemimpin tidak sekedar baik, soleh dan alim saja, tetapi juga harus cerdas, sehingga ia mampu mengatasi persoalan dengan cepat, tepat dan benar.  Pemimpin juga harus cerdas sehingga ia mampu memberikan arahan dan solusi kepada bawahannya dalam mengatasi persoalan.  Lawan dari fatonah adalah bodoh atau jahlun.

Dalam menyampaikan 6.236 ayat Al Qur’an kemudian menjelaskannya dalam puluhan ribu hadits membutuhkan kecerdasan yang luar biasa.  Nabi harus mampu menjelaskan firman-firman Allah kepada kaumnya sehingga mereka mau masuk ke dalam Islam. Nabi juga harus mampu berdebat dengan orang-orang kafir dengan cara yang sebaik-baiknya.

Apalagi Nabi mampu mengatur ummatnya sehingga dari bangsa Arab yang bodoh dan terpecah-belah serta saling perang antar suku, menjadi satu bangsa yang berbudaya dan berpengetahuan dalam 1 negara yang besar yang dalam 100 tahun melebihi luas Eropa. Negara tersebut membentang dari Spanyol dan Portugis di Barat hingga India Barat.

--- --- ---

Empat Sifat Mulia Rasulullah:

1.  Siddiq : Jujur, dengan asas keterbukaan (akuntabilitas) tanpa manipulasi dan kecurangan.  

2.  Amanah : Dapat dipercaya, benar dan adil.

3.  Fathonah : Cerdas meliputi intelektual, emosional dan spiritual.  

4.  Tabligh : Menyampaikan apa yang harus disampaikan tanpa ada yang disembunyikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar