Rabu, 23 November 2016

Pendusta Agama

Siapakah “Pendusta Agama”
Pendusta agama dijelaskan oleh Al Qur’an pada surah Al-Ma’un, yaitu surat yang ke-107.  Tiga ayat pertama surah ini menjelaskan siapa yang termasuk sebagai pendusta agama, yaitu: (1) Araitalladzi yukaddzibu biddiin, (2) Fa’dzaalikal ladzii yadu’ul yatiim, (3) Wa laa yahudhdhu alaa tho’amil miskin.  Artinya: (1) Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama?, (2) Itulah orang yang menghardik anak yatim, (3) Dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin.
Dari ayat tersebut jelas bahwa pendusta agama adalah orang yang tidak peduli atau apatis terhadap keberadaan anak yatim, dan fakir miskin (kaum dhuafa).
Dalam memahami surat Al-Maun ini, kebanyakan orang hanya berhenti pada pemahaman “siapa pelaku” pendusta agama, tetapi tidak sampai pada pemahaman “konsekuensi” bagi pendusta agama.

Konsekuensi bagi Pendusta Agama
Menurut Prof. Dr. Hamka (juga para mufassir), hakekat pendusta agama adalah orang-orang yang “mendustai agamanya” atau “mengingkari pilar-pilar agama”.
Pilar agama Islam itu ada 5, yakni : Syahadat, Shalat, Zakat, Puasa dan Haji. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw, “buniyal Islamu ‘ala khomsin.” bahwa Islam dibangun di atas lima pilar utama,  yaitu syahadat, shalat, zakat, puasa, dan haji.­
Jadi bagi orang-orang yang tidak peduli (apatis) terhadap nasib anak-anak yatim dan orang-orang miskin (meskipun ia rajin shalat, rajin puasa, rajin dzikir, dsb) maka mereka adalah pendusta agama, berarti mereka telah mendustai syahadatnya, mendustai shalatnya, mendustai puasanya, mendustai zakatnya, dan mendustai hajinya.  
Ketaqwaan bagi pendusta agama dipertanyakan. Ibadah shalatnya, zakatnya, puasanya, dan hajinya menjadi sia-sia.  Karena amal ibadah mahdhahnya tidak berdampak pada akhlaknya, yaitu prilaku sosial.

Ironis.
Berdasarkan survei ternyata kebanyakan orang Islam tahu dan hafal surat Al-Maun, karena merupakan surat pendek hanya terdiri dari 7 ayat.  Tetapi hanya sedikit orang yang memahami dan mengamalkannya.  Indikator tentang kepedulian terhadap nasib anak-2 yatim dan orang-orang miskin adalah dari pengeluaran Zakat Mal (harta), bukan zakat fitrah.  Zakat Mal merupakan sedekah harta yang wajib dikeluarkan sebesar 2,5 persen dari penghasilan.
Hasil survei yang dilakukan oleh beberapa  mahasiswa di kota Medan, menunjukkan tingkat kesadaran masyarakat menunaikan zakat (mal) hanya sebesar 3,21 persen.  Berarti orang yang tidak mengeluarkan zakat mal adalah 96, 79 persen. Dengan kata lain, diantara 100 orang hanya 3 orang  yang menunaikan zakat (mal). 
Hasil survei ini juga menunjukkan bahwa banyak diantara mereka yang telah mengeluarkan sedekah, tetapi sedekahnya belum mencapai 2,5 persen.  Padahal mengeluarkan zakat mal sebesar 2,5 persen dari penghasilan merupakan kewajiban.
Bahkan Imam Besar Masjid Istighlal Jakarta, Prof. DR. KH Nasaruddin Umar menyebut bahwa terlalu pelit jika orang Islam hanya mengeluarkan zakat yang 2,5 persen, tanpa sedekah lainnya.
Gambaran tentang kesadaran umat Islam membayar zakat mal di kota-kota lain tentu tidak jauh berbeda dengan masyarakat kota Medan Sumatra Utara.
Penelitian lain juga menunjukkan bahwa semakin kaya seseorang, maka akan semakin pelit (sulit) dia untuk membayar zakatnya.

Kesimpulan
Surat Al-Ma’un menjadi pelengkap bagi ayat-ayat dari surat yang lain berkaitan dengan kewajiban manusia untuk melakukan kebajikan secara sosial. Islam menekankan bahwa manusia harus baik pada dua aspek sekaligus, yaitu aspek spiritual (ibadah mahdhah) dan aspek sosial (ibadah ghair mahdhah).  Dalam Al Qur’an dijelaskan kewajiban untuk “hablum minallah”, yaitu bersikap dan berprilaku baik terhadap Allah dan “hablum minan naas” yaitu bersikap dan berprilaku baik terhadap sesama manusia.  
Allah ta’ala menegaskan lewat surah Ali Imran ayat 112, “Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia, dan mereka kembali mendapat kemurkaan dari Allah dan mereka diliputi kerendahan.”(QS. Ali Imran 112).
Seandainya kebanyakan dari kita umat nabi Muhammad mempunyai kepedulian yang tinggi terhadap nasib anak-anak yatim dan kaum dhuafa, dengan mengeluarkan zakat minimal sebesar 2,5 persen dari rizki yang kita terima untuk mereka, niscaya kesenjangan sosial akan teratasi.  
Semoga uraian diatas bisa menjadikan renungan bagi kita. Apakah kita termasuk ke dalam golongan orang peduli terhadap nasib anak yatim dan kaum dhuafa, atau justru sebaliknya termasuk kedalam golongan orang yang mendustakan agama.

Astaghfirullah hal adzim.

*****

Prof. Dr. H. Quraish Shihab menjelaskan asbabun nuzul surat al-Maun ini adalah sehubungan dengan kebiasaan Abu Sofyan dan Abu Jahal yang konon tiap minggu menyembelih seekor unta. Suatu ketika seorang anak yatim datang meminta sedikit daging yang telah disembelih itu, namun bukannya diberi daging oleh Abu Jahal dan Abu Sofyan, tetapi anak yatim itu malah dihardik dan diusir. Inilah peristiwa yang melatar belakangi turunnya surat al-Ma`un.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar